CHAPTER 1
Manhattan, New York, Selasa
“Rachett! Datang ke ruanganku sekarang juga!”
Rachett
hanya memutar mata mendengar si boss memanggil namanya. Lagi. Untuk
yang ketiga kalinya. Apa yang salah sih dengan wanita itu? Apa dia
membenci Rachett hanya karena melontarkan ide yang menurut direktur
bagus? Apa dia mengira Rachett sedang menjilat? Rachett bergegas menuju
ke ruangan si boss, sebelum wanita itu memutuskan untuk pergi ke cubiclenya dan membuat drama di kantor.
10
menit kemudian, dia keluar dengan wajah kusut dan pandangan yang bisa
membunuh siapapun.
Sahabatnya, Leah hanya nyengir, dan menyapanya sambil
berbisik "Dia marah habis - habisan?"
"Banget. Kayaknya dia lagi
PMS atau apalah. Ide yang kulontarkan ke direktur bisa mempercepat
proyek kita dan dia sama sekali tidak senang. Mungkin dia ingin dirinya
yang melontarkan ide tersebut. Alih - alih aku yang cuma kroco. Padahal
aku pemimpin tim proyek ini" Rachett mendengus dan membanting kertas
yang dia ambil dari ruangan si boss.
"Yah, aku rasa dia emang tipe yang penjilat."
Rachett
menoleh ke arah pria yang baru bergabung dengan obrolannya bersama
Leah. Crowley Simmons, karyawan yang baru saja ditransfer ke kantor
mereka dari kantor pusat 6 bulan yang lalu dan saat ini bekerja di
timnya.
"Menurutmu begitu ya, Simmons? Kau bisa melihatnya dengan
jelas, kan? Aku ingin sekali menonjok mukanya," Rachett tentu saja tidak
sungguh - sungguh dengan ucapannya. Menonjok bossmu = masalah besar .
"Yah,
kau selalu haus darah seperti biasanya, apalagi kalau menyangkut Ms
Dane. Ngomong - ngomong, mau minum - minum hari ini? Kelihatannya kau
butuh hiburan, Hawthorne."
Leah bersiul dan Rachett memelototi
temannya yang satu itu. Orang kantor mengira Simmons naksir dia.
Sejujurnya dia tidak begitu jelek. Crowley Simmons cukup tampan, lebih
dari mantan - mantannya dulu yang brengsek. Bahkan dengan kacamata tebal
yang dia pakai, Rachett bisa melihat warna matanya yang tidak biasa.
Begitu hitam seperti langit malam. Sama hitamnya dengan rambut pria itu.
Tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya tampak terawat untuk ukuran pria
itu.
Tidak ada yang aneh dengan Simmons. Dia layaknya karyawan
pria yang lain di kantor itu. Tersenyum jika disapa dan bicara hanya
seperlunya. Hanya saja Rachett memang merasa bahwa Simmons cukup dekat
dengannya, mungkin karena pria itu juga kerja di samping cubiclenya
- dan mereka suka jalan bareng dengan teman Rachett yang lain. Tapi,
baru kali ini Simmons mengajaknya secara terang - terangnya.
"Kau tahu kita lagi sibuk kan, Simmons? Aku tidak punya waktu".
"Ayolah. Ini hanya minum - minum biasa. Leah, kau boleh ikut kalau mau. Aku yang traktir," kata Simmons.
"Ide bagus, Crow! Ayo Rachett, sudah lama kita bersenang - senang. Kita bisa berdansa dan siapa tahu aku bisa dapat cowok baru."
Rachett
hanya memutar mata. Leah baru putus 3 hari yang lalu dan sekarang sudah
siap mencari pengganti pacarnya. Semua mantan Rachett menuduh kalau dia
terlalu workaholic, dan sudah dua tahun lebih dia putus dari
mantannya yang terakhir. Tidak ada waktu untuk cinta. Tidak jika proyek
yang kau impikan mendarat di pangkuanmu dan ini waktu untuk membuktikan
kalau Rachett memang pantas jadi pemimpin tim proyek ini.
Lagipula, sejak kapan Leah dan Simmons mulai memanggil dengan nama depan mereka?
"Baiklah, Leah. Jam 8 malam nanti, Simmons?"
"Sempurna", jawab pria itu dengan mengedipkan mata.
Well, pria itu memang tampan, pikir Rachett. Tapi saat ini dia sedang pacaran dengan pekerjaannya.
******
"Jadiiiii...
si Dane, jalang brengsek itu bilang kalau kita tidak perlu menambah
budget dan harus menyelesaikan proyek ini tepat waktuuu... sementaraa...
kita tidak punya banyak waktuuu.. karena si bawel itu terus - terusan
menolak proposalku..."
Rachett tahu dia mabuk, tapi puas rasanya
bisa menumpahkan semua yang ada di hatinya. Dia meminta tambahan minum
pada bartender, yang dibantu dengan senang hati oleh Simmons yang berada
di sebelahnya. Sementara Leah sudah menghilang entah kemana.
"Kau marah karena dia tidak percaya padamu kan, Hawthorne?"
"Yeahhhh...." jawab Rachett sambil menelan ceri di atas cocktail yang baru saja disodorkan oleh si bartender.
"Orang
sepertinya tidak pantas jadi pemimpin. Dia hanya ingin terlihat bagus
di mata pimpinannya dan mengambil semua kredit untuk dirinya sendiri.
Dia butuh dipuji..." ucap Simmons sambil melihat keadaan di sekitarnya.
Seorang wanita merayunya untuk turun ke lantai dansa, yang ditolaknya
dengan sopan.
Rachett hanya merengut dan memainkan cocktailnya. Tapi dia mendengar semua perkataan Simmons, dan mengangguk setuju.
"Kau
tidak puas karena dia berusaha menghalangi kerjamu. Menurutku kau
pemimpin yang bagus, Rachett. Aku bisa melihatnya selama 6 bulan ini
berkerjasama denganmu. Kau punya bakat alami untuk itu".
Rachett
menatap pria itu dan nyengir. Simmons membalas cengirannya dengan tawa
renyahnya. Oh sial, pikir Rachett, kalau sedang tertawa Simmons sangat
tampan. Selama ini dia terlihat sopan dan menahan diri jika sedang
berkumpul dengan teman - temannya. Mungkin ini pengaruh minumannya, jadi
Rachett buru - buru menenggak cocktailnya. Setelah ini dia akan turun
untuk berdansa, dan mengajak Simmons menari bersamanya. Kelihatannya
malam ini akan jadi menyenangkan
"Hei, Rachett.."
"Yah, Crowleyyy..."
"Maukah kau menjadi ratuku?"
Rachett
bergeming. Dan menatap Simmons dalam - dalam. Apa pria itu sudah sangat
mabuk sampai menanyakan pertanyaan yang aneh itu.
"Setahuku Amerika masih dipimpin Obama, dan bukan Ratu Elizabeth," dengus Rachett.
"Bukan
Amerika. Tapi, jawablah pertanyaanku Rachett, kau wanita yang tegas,
kuat, tidak takut pada tantangan, dan kau punya bakat alami untuk
menjadi pemimpin. Jadi, maukah kau menjadi ratuku?"
Rachett hanya bisa terdiam. Oh, jangan bilang pertanyaan Simmons itu artinya...
"Oh,
demi Tuhan, Crowley! Apa kau melamarku untuk jadi istrimu? Apa kau
pangeran dari negara entah dimana dan saat ini sedang mencari pasangan?"
teriak Rachett histeris. Tidak ada yang akan memperhatikan mereka
berdua karena suara di club kencang sekali. Walau bartender yang
melayani mereka melihat Rachett dengan pandangan ingin tahu.
"Jawablah pertanyaanku, Rachett."
"Ohhh, aku harus menjawabnya ya, oh, hi hi hi..."
"Tentu saja. Dan aku tidak menerima jawaban "tidak""
"Huh,
kau cowok yang sangaaat pemaksa, heh? Baiklah, baiklah, aku akan jadi
ratumu. Aku akan jadi penguasa dunia dan menendang bokong si brengsek
itu.. oh, hi hi hi.. hiks!" Rachett tidak peduli dengan jawabannya. Efek
alkohol mulai membuatnya mabuk dan bicara tidak karuan.
Tapi
Simmons sepertinya tidak terpengaruh dengan minumannya, dan setelah
mendengar jawaban Rachett, dia menyeringai dan melakukan hal yang tidak
Rachett duga.
Crowley mencium pipinya. Well, hanya pipi, pikirnya
kecewa. Tapi, berarti apa yang dipikirkan temannya semua benar. Crowley
Simmons naksir dia. Rachett hanya bisa mengikik seperti remaja SMA cewek
yang sedang melihat pujaannya dari sebelah lapangan basket.
Crowley
menyudahi ciumannya yang singkat dan Rachett mendesah kecewa. Sakit
kepalanya makin menjadi dan dia merasa sangat mengantuk. Pandangannya
mulai kabur, dan Crowley memegangi tubuhnya yang mulai sempoyongan
"Jadi ratumu, eh, Crow? Ya, ya, ya aku akan jadi ratumu, la la la....."
"Sempurna sekali, Rachett. Sempurna", jawab Crowley, tersenyum misterius.
Lalu setelahnya Rachett tidak ingat apapun.
*******
Suara
alarm yang sangat nyaring membangunkan Rachett dan membuatnya
tersentak. Oh sial, pikirnya, dia akan terlambat. Dan sakit kepalanya
tidak tertahankan. Memalukan sekali untuk mabuk- mabukan tadi malam dan
bahkan dia sama sekali tidak ketemu dengan Leah. Rachett melihat
sekelilingnya, dan menyadari kalau dirinya berada di apartemennya.
Mungkin Simmons yang membawanya kesini. Apa mereka..
Rachett
melihat pakaiannya yang masih lengkap, dan dia mendesah lega. Akan
sangat aneh kalau tadi malam dia dan Simmons berhubungan sex. Hubungan
satu malam sama sekali bukan gayanya, dan Rachett juga tidak suka kalau
si pria berusaha memanfaatkan keadaan dirinya yang sedang mabuk. Crowley
Simmons benar - benar pria yang sopan, dan hanya menciumnya. Itu juga
hanya di pipi.
Alarm berbunyi lagi dan Rachett bergegas mencari
kopi untuk membuatnya terjaga. Setelah mandi, sarapan seperlunya, dia
bergegas memanggil taksi untuk ke kantor. Dia tidak ingin terlambat
karena ada meeting dengan direksi, dan tentunya si bos brengsek akan
menggunakan semua kesempatan untuk memarahinya lagi.
Untunglah dia
tidak terlambat, dan Rachett bergegas ke cubiclenya untuk menyiapkan
bahan presentasi. Tapi dia berhenti saat melihat cubicle di sebelahnya
kosong melompong. Kemana Crowley Simmons? Dia tidak tiba - tiba resign
kan?
"Hai, Leah! Kemana Simmons?"
Leah mendongak dari atas pekerjaannya dan menatap Rachett bingung, "Simmons?"
"Yeah, Simmons. Crowley Simmons."
"Memangnya ada karyawan dengan nama aneh seperti itu di kantor kita, Rach?"
"Apa
maksudmu Leah? Crowley Simmons sudah jadi bagian dari tim kita selama 6
bulan. Dia ditransfer dari kantor pusat! Dan hey, kita bertiga baru
saja minum - minum tadi malam di club. Apa kau terlalu mabuk sampai
bertanya siapa itu Simmons?"
"Dengar dulu, Rach. Tidak ada karyawan bernama Simmons. Cubicle
di sebelahmu selama ini kosong. Dan tadi malam, aku langsung pulang ke
apartemenku. Kau tidak apa - apa, sweetie?" tanya Leah khawatir.
Rachett
bergeming. Tidak pernah ada karyawan bernama Crowley Simmons selama
ini. Lalu, siapa yang selama ini ada di sebelahnya? Siapa pria yang tadi
malam mengajaknya minum - minum?
Rachett menanyai Leah lagi dan
wanita itu cuma menggeleng, dia memandang Rachett khawatir. Orang -
orang lain di kantor itu juga tidak mengenal siapa Simmons. Rachett
tertegun. Apakah dia mulai gila? Apakah Simmons selama ini hanya ada di
bayangannya saja? Kenapa hanya dia yang bisa mengingat seorang Crowley
Simmons?
"Rach, apakah kau tidak apa - apa? Kau terlihat pucat, sayang. Siapa Simmons ini sebenarnya? Kau sedang tidak nge-drug kan?"
Rachett menggeleng keras - keras. Dia tidak gila, sialan! "Leah, aku.."
"Rachett Hawthorne."
Rachett
menoleh dan melihat direktur menghampiri cubiclenya. Baru kali ini
Rachett melihat direktur datang langsung ke cubiclenya.
"Ya, Sir?"
"Ke ruanganku. Sekarang"
Rachett
hanya bisa mengangguk dan berjalan di belakang si direktur. Pikirannya
kacau balau. Pertama, tidak ada karyawan bernama Simmons. Dan sekarang
direktur memanggilnya. Apa karena masalahnya kemaren dengan si bos
brengsek?
Mereka tiba di depan kantor si direktur dan Rachett bisa
melihat siapa yang berada di dalam. Seluruh jajaran direksi dan si boss
berengsek. Rachett muak melihat wajah wanita itu yang tampak sangat
puas.
"Silakan duduk Ms Hawthorne. Kuharap kau tahu kenapa dipanggil ke sini?"
"Terimakasih,
Sir. Maaf, sejujurnya saya tidak tahu. Saya ada meeting dengan client
hari ini, jadi, ini cukup mengejutkan," jawab Rachett dengan tertawa
kecil yang dipaksakan.
Si direktur menatapnya tajam dan hanya
mendesah. Orang - orang lain di ruangan itu berbisik, sementara si boss,
Dane, menatapnya dengan pandangan licik.
"Kami menerima laporan bahwa kau memanipulasi progress proyek dan menerima suap dari vendor agar barang mereka bisa diterima."
Tubuh Rachett membeku. Memanipulasi? Suap? Dia orang yang sangat jujur dan tak pernah melakukan itu sama sekali.
"Maaf, Sir. Mungkin anda salah mendengar. Tapi saya tidak pernah melakukannya sama sekali."
Sang
direktur hanya terdiam mendengar penjelasannya, lalu menekan tuts
komputernya. Rachett melihat ke layar dan jantungnya berdegup keras.
Terpampang sebuah kontrak yang menyatakan persetujuan kantornya untuk
menggunakan barang dari vendor A dengan jumlah yang sangat besar.
Melebihi budget proyek selama ini. Dan ada tanda tangannya di akhir
kontrak.
Rachett hanya bisa terpana melihat layar, sementara si
direktur berkata dengan suara tegas, "Ini bukti yang masuk kepada kami,
Ms Hawthorne, dan itu sudah jelas adalah tanda tanganmu. Menjual
informasi dan suap adalah hal yang sangat dilarang. Kami tentu akan
sedih karena kehilangan orang dengan potensi seperti dirimu, tapi hal
seperti ini tidak bisa ditolerir. Kami minta agar kau mengundurkan diri
mulai hari ini."
Rachett tidak mendengar apa kata pria itu.
Benaknya berputar - putar, menanyakan segalanya. Dan saat dia ingin
menyanggah perkataan direkturnya, dia melihat sang boss tersenyum sangat
puas.Seketika itu juga Rachett tahu. Ini bukan ulahnya! Ini ulah si
jalang brengsek itu. Dia pasti mengutak - atik komputer Rachett dan
memalsukan tanda tangannya untuk menyetujui kontrak. Rachett berani
taruhan uang suap itu sudah masuk ke dalam kantong bossnya.
Muka
Rachett memerah, dan amarahnya tidak terkendali. Dia bergegas menuju ke
tempat bosnya yang terlihat sangat puas dan melakukan apa yang selama
ini hanya ada di angan - angannya. Rachett memukul wajah si boss keras -
keras sampai wanita itu terjatuh dari kursinya.
"Kau.. dasar
wanita brengsek! Selama ini aku selalu tahan dengan perlakuanmu di
kantor. Tapi ini sudah di luar batas! Kau menyalahgunakan wewenangmu
hanya untuk kepentinganmu sendiri!!", teriak Rachett.
Si boss brengsek terkejut dan mulai mengaduh " Dasar wanita gila!! Panggil satpam kemari!!"
"Ohhh,
tidak perlu, brengsek!! Aku bisa pergi sendiri, dan mulai hari ini aku
mengundurkan diri. Persetan dengan dirimu. Persetan dengan kantor ini.
Selamat siang bapak - bapak dan ibu - ibu sekalian!"
Rachett
membuka pintu ruangan itu keras - keras dan tak peduli dengan adegan
yang ada di belakangnya. Si boss brengsek masih mengaduh dan Rachett
menyeringai puas. Persetan dengan semuanya, pikirnya.
Dia lalu
bergegas ke cubiclenya, dan mengemasi semua barang - barangnya. Semua
orang terkejut mendengar Rachett dipecat, dan tentu saja mereka tak
percaya. Leah hanya bisa menangis tersedu - sedu mendengar kabar
pemecatan dirinya, dan menawarkan untuk membawa barang - barangnya
keluar. Rachett hanya bisa mengangguk setuju dan dengan gontai
meninggalkan proyek yang juga jadi ambisinya selama ini.
Sepanjang
perjalanan Leah mengamuk dan menyumpahi boss mereka, sementara Rachett
hanya terdiam mendengar amukan Leah. Sampai mereka lalu tiba di sebuah
taman ria kecil, dan Leah memutuskan untuk bolos saja dari kantor dan
mengajak Rachett bermain. Rachett merasa bersyukur ada Leah, karena
dirinya mati rasa saat itu.
Mereka lalu bermain - main sampai
menjelang sore, sampai Leah mengajaknya ke sebuah tenda. Rachett melihat
papan tenda itu yang bertuliskan "Madam Oracle". Dia tidak percaya ramalan, tapi Leah mendesaknya untuk masuk ke dalam, dan tak mau
mengecewakan sahabatnya, Rachett pun mengikuti Leah.
Keadaan tenda
agak gelap, kecuali tempat di sekitar sang peramal mengatur kartu
Tarotnya di atas meja. Leah sangat antusias dan bergegas untuk minta
diramal,sementara Rachett melihat sekelilingnya. Tenda itu didekorasi
dengan gambar - gambar aneh. Fantasy dan mitos bukan favoritnya, karena
Rachett menganggap dirinya adalah orang yang praktis. Walau begitu dia
terkesan melihat gambar - gambar yang menghiasi tenda itu.
Seekor
naga terbang di atas langit dengan daratan yang berbentuk aneh. Seekor
harimau berada di daratan itu dan terlihat mengaum. Sementara itu di
sisi lain ada seekor kura - kura dengan ekor yang aneh meliliti sebuah
istana. Ketika Rachett mengamatinya dengan lebih lanjut, ekor kura -
kura itu ternyata berbentuk ular bercabang tiga. Lalu, di atas gambar
kura - kura, terlihat seekor burung phoenix, kakinya menggenggam semacam
plakat dengan tulisan "Arramis".
"Kau mau diramal, Nona?"
Ucapan
sang peramal membuyarkan perhatian Rachett yang sedang mengamati
lukisan di tenda. Rachett memandang sang peramal, dan Leah yang terlihat
berseri - seri. Mungkin hasil ramalannya bagus.
"Oke. Silakan ramal aku sepuasnya."
Sang peramal menyusun kartu demi kartu, sementara Rachett memperhatikannya dengan bosan. Sampai sang peramal mengeluarkan kartu "The Empress", Rachett mendadak teringat malam sebelumnya dan ucapan terakhir Crowley
"Maukah kau menjadi ratuku?"
Rachett
menatap sang peramal dengan tak percaya. Kemarin Crowley, dan saat ini
di tenda sang peramal mengeluarkan kartu yang berarti "Ratu".
"Apa maksudnya ini?" desak Rachett.
Duarrr!!
"Rach....!!!"
Teriakan
Leah yang panik membuat Rachett tak sempat mendengarkan jawaban sang
peramal. Ada ledakan di luar tenda, dan orang - orang berteriak.
"Rach,
ada bom. Ayo kita keluar!" desak Leah sambil menarik tangan Rachett.
Rachett bergegas mengikutinya, hanya untuk mendapati tangannya yang satu
lagi dipegang oleh sang peramal. Rachett tak bisa melihat wajahnya,
walau dari tangannya dan juga ucapannya saat meramal Leah, peramal itu
adalah wanita. Dan untuk ukuran seorang wanita, tangannya sangat kuat.
"Lepaskan aku!"
"Rachett Hawthorne!"
"Kumohon, lepaskan aku!! Kenapa kau tahu namaku?"
"Kau adalah wanita yang dipilih oleh The Knights. Aku bisa melihat simbol Phoenix di wajahmu."
"Simbol apa? Tidak ada apa - apa di wajahku. Lepaskan tanganku sekarang juga. Leah, Leah, bantu aku dong!"
"Kau tidak bisa lari dari takdirmu, Rachett! Jangan lepas tanganmu, atau mereka yang di luar akan membunuhmu!!"
"Leah!!"
Kekuatan
peramal itu terlalu kuat dan Leah terpaksa melepaskan tangannya.
Rachett terjatuh ke arah peramal itu.Lalu, sesuatu yang aneh terjadi,
karena dia sama sekali tidak menimpa tubuh si peramal, alih - alih
dirinya tersedot sebuah lubang hitam.
Dan semuanya pun menjadi gelap.
********
"Cari wanita itu."
Sebuah
sosok misterius berjalan menyusuri taman ria yang saat itu sedang dalam
keadaan kacau. Binatang piaraannya mengendus - endus tanah, seakan
mencari sesuatu. Lalu dia mendengking, dan sosok itu melihat ke sebuah
tenda.
"Wanita itu ada di tenda yang disana?" tanyanya ke sosok lain yang sekarang berjalan mendekatinya
"Ya, master."
"Madam Oracle? Aku duga ini pasti ada campur tangan dari si Phoenix."
Sosok
itu berjalan mendekati tenda, tidak terpengaruh dengan teriakan -
teriakan di sekitarnya dan asap yang membumbung tinggi. Urusan di
dimensi ini bukan urusannya. Walau banyak orang yang terluka, beberapa
mati, karena serangan anak buahnya, dia tak peduli.
Sosok itu masuk ke dalam tenda dan di dalamnya sang peramal sekali lagi menyusun kartu - kartu Tarot.
"Kau terlambat," kata sang peramal.
"Dimana wanita itu? Dimana calon Ratu Astoria selanjutnya?"
"Kau tahu jawabannya, Dietrich. Sang Ratu sudah menuju takdirnya".
Sosok yang dipanggil Dietrich itu melihat ke arah kartu Tarot yang disusun sang peramal, dan melihat kartu "The Empress".
Dia bersiul dan sesaat kemudian semua anak buahnya berkumpul di
belakangnya. Suasana tenda itu semakin terasa gelap dan jahat, tapi sang
peramal sama sekali tidak terpengaruh.
"Kali ini sang Phoenix
boleh berada satu langkah di depan kami. Tapi selanjutnya, kami akan
membunuh calon Ratunya yang berharga itu. Sampaikan ini kepadanya, wahai
Saphira Crux. Minneas tidak akan berhenti sampai Astoria hancur dengan
tanah!"
Lalu sosok - sosok itu pergi dan sang peramal tinggal
sendirian di dalam tenda yang kemudian menghilang, seolah tak pernah ada
di tempat itu sebelumnya.